Dia - Eps. 1 (2019)
Namanya Karina
Citra. Dia memiliki dua kepribadian, gadis misterius ber-hoodie hitam, yang mengaku bernama Karina, atau
gadis ramah ber-blazer pink, yang
mengaku bernama Citra. Tidak ada yang tahu nama aslinya, lantas ia dijuluki ‘si
Hantu’. Semua orang menganggapnya gila. Tapi tidak denganku.
Oh ya, dan namaku—
“Arka!”
“Hmm?”
aku menoleh ke arah Dean, teman sekantorku.
“Lo
mau kopi nggak? Gue mau beli ke kafe di bawah.” Tawar Dean.
“Nggak,
deh. Kebanyakan kopi nggak baik untuk kesehatan.” Ujarku.
“Gaya
lo! Padahal setiap malam minum kopi!” Dean menepuk punggungku.
“Nggak
baik untuk kesehatan dompet, maksudnya. Di rumahku banyak kopi sachet, ngapain beli lagi? Di kafe lagi,
mahal!” aku menjulurkan lidah. “Tapi kalau kamu traktir boleh sih..”
“Nope.” Dean menggeleng. “Ya udah kalau
nggak mau, gue tu—” hampir saja Dean menyelesaikan kalimatnya, sebelum seruan
riang itu terdengar.
“Dean!”
gadis itu berdiri, mengangkat tangannya riang. “Gue nitip sekalian dong, matcha latte dingin, ya! Uangnya nyusul!”
“O-ok,”
Dean menatap ngeri sang gadis yang mengenakan blazer pink itu. Lantas Dean menarik tanganku, memaksaku berdiri.
“Ka, lo harus temenin gue!” ia berbisik.
“Kenapa,
sih, emangnya?” aku berbisik jengkel kepadanya, malas menemaninya.
“Gue
nggak mau deket-deket sama si Hantu! Nanti lo aja yang ngasih minumannya ke
dia, biar dia ngasih uangnya ke lo juga, terus nanti lo kasih ke gue uangnya!
Gue traktir deh, ya, Ka?”
Aku
menatap gadis ber-blazer pink yang
sibuk dengan pekerjaannya. “Ok,” aku memutuskan.
“Yes!”
Dean berbisik senang.
***
Sekitar
dua puluh menit kemudian, aku dan Dean kembali sampai di ruang kerja kami. Dean
menyerahkan ice matcha latte milik
‘si Hantu’ kepadaku. “Tolong, ya, Ka,” bisiknya padaku.
Aku
menghampiri meja si Hantu. “Han—em, Cit,” aku memanggilnya. Citra—sang Hantu—mendongak.
“Nih, matcha latte punyamu. Dari
Dean.”
“Ooh,
thank you!” Citra tersenyum cerah.
“Berapa harganya? Nanti tolong kasih Dean ya, Arka,” Citra meraih dompet
abu-abunya.
Aku
menyebutkan harga minuman tersebut, lantas Citra memberikan uangnya. “Sekali
lagi thank you, ya!”
“Your welcome,” aku berbalik, menghampiri
meja kerjaku yang bersebrangan dengan meja kerja Dean. “Nih,” aku menyerahkan
uang dari Citra kepada Dean.
“Buat
lo aja deh, Ka! Takut gue ngambil uang dari si Hantu. Kalau kena kutukan,
gimana?”
“Oh..
ya udah.” Aku menyimpan uang tersebut di saku jaket cokelatku.
“By the way, Ka, nanti siang mau makan di
restoran seberang kantor aja nggak? Bosen gue makan di bawah terus,” ujar Dean.
“Ya
ampun, masih jam sembilan lho, Dean, udah mikir makan aja,” ujarku.
“Mau
nggak?” Dean mendesak.
“Terserah
deh,”
***
Jam
dua belas siang.
Aku
hampir saja menghabiskan dengan tenang makan siangku, kalau saja Dean tidak
tiba-tiba merutuk kasar.
“Kenapa,
sih, Dean?” aku menggerutu.
“A-ada
si Hantu!” Dean menunjuk ke arah salah satu meja di restoran tempat kami makan.
Aku spontan berdiri, menghampiri si Hantu.
“Citra,”
aku memanggilnya.
“Salah
orang,” katanya ketus. Aku baru sadar, blazer
pink-nya telah terganti dengan hoodie
hitam.
“Oh,
maaf. Maksudnya, Karina,” aku berdeham. “Kamu makan disini juga?”
“Kalau
iya kenapa?” si Hantu berkata ketus.
“Eh,
nggak.. kamu.. kamu suka matcha latte,
kan? Mau kubelikan?”
“Maaf,
aku nggak suka matcha latte. Kalau kopi
hitam boleh,” ujar Karina dingin.
“O-ok,”
aku menggaruk leher. “Nanti aku suruh waiter-nya
antar ke meja kamu, ya,”
Karina
tidak menanggapi, fokus dengan ponselnya. Aku kembali ke mejaku dan Dean.
“Udah
gue bilang, kan, si Hantu serem.” Dean menyeringai ngeri padaku.
“Yah..”
aku menggaruk leher. “Citra jadi beda banget kalau jadi Karina.”
“Makanya,”
Dean menjentikkan jari. “Banyak yang bilang dia gila.”
“Tapi
dia nggak beneran gila, kok,”
“Buktinya?”
“Dia
kan kepribadian ganda. Bukan berarti gila, kan?”
“Ya,
sih.. tapi kok lo bela si Hantu gitu? Suka ya?” Dean menggodaku.
Aku
mengikuti gaya bicara Karina. “Kalau iya kenapa?”
“Hah?
Serius?!”
***
Aku
menyesap kopi, lantas berkutat dengan laptop-ku. Terdengar suara ketukan pintu
kamarku.
“Arka?
Kamu belum tidur? Lembur, ya?” itu suara Bunda.
“Iya,
Bun!” aku berseru.
“Tidurnya
jangan malam-malam ya! Malam ini ada tahlilan di masjid dekat sini sampai
malam, kalau tidurnya kemalaman nanti susah tidur,”
“Iya
Bun!”
“Ya
udah, Bunda di ruang tengah ya! Kalau perlu apa-apa minta aja. Teteh-mu juga ada di ruang tengah tuh!”
“Siap,
Bun!”
Suara
langkah kaki Bunda pun menjauh. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku, berusaha
untuk fokus. Tapi, aku malah teringat percakapanku dengan Dean tadi siang.
“Serius? Lo suka si Hantu?”
Aku mengangguk.
“Waduh, bahaya, Ka.. Kok bisa, sih?”
“Emang kenapa, sih, suka sama dia?”
aku menggerutu.
“Ya, kan dia gila!”
“Dia cuma kepribadian ganda, Dean,
dia nggak gila.” Aku menggeleng.
“Ok, gue tanya nih,” Dean menghembuskan
napas frustasi. “Lo suka sama siapa? Citra atau Karina?”
“Ya dua-duanya lah,”
“Serius?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu susah, Ka,” ujar Dean.
Aku mengeryit. “Susah kenapa?”
“Ya, kan si Hantu itu kepribadian
ganda! Punya dua kepribadian! Berarti, supaya cinta lo terbalaskan, lo harus
berusaha membuat dua orang yang sangat bertolak belakang jatuh cinta sama lo!”
Dean berseru.
Aku terdiam, benar juga kata Dean.
Akhirnya, kuputuskan untuk berdiri. “Udah yuk, balik ke kantor. Jam istirahat
siang udah mau habis, lho,”
Dean ikut berdiri, lantas kami
menghampiri meja kasir.
“Oh, tadi mas-mas berdua udah
dibayarin!” kata penjaga kasir.
“Hah? Sama siapa, Mbak?”
“Itu, yang tadi di meja nomor dua,
pakai hoodie hitam, rambutnya hitam
sepundak,”
Aku dan Dean saling tatap. Hoodie hitam.. Rambut hitam sepundak..
Karina?
Ah,
memikirkan itu lagi membuatku tidak fokus. Aku menggaruk rambut hitam ikalku. Kalau begini mah mana bisa kerja.. aku
menatap ke pintu kamarku, mendapat ide. Bunda!
Aku
berlari keluar kamar. “Bunda, Arka mau ngomong!”
***
“Oh,
jadi kamu suka sama teman sekantormu?” Bunda menyesap teh panas miliknya. “Kamu
udah besar, Arka, kamu harusnya tahu apa yang harus kamu lakukan, kan?”
“I-iya..
masalahnya, dia itu.. dianggap orang-orang gila..”
“Kamu
minder karena itu? Kamu cinta dia kan? Justru itu kesempatan, karena semua
orang menghinanya, berarti cuma kamu yang punya rasa ke dia.”
“Bukan
Bun.. dia itu.. bisa jadi sangat ramah ke Arka, tapi bisa juga jadi sangat
dingin. Tergantung pakaiannya, blazer pink
atau hoodie hitam.”
“Maksud
kamu?” Bunda mengeryit.
“Dia
itu.. kepribadian ganda.”
“Ooh,
pantas kamu bingung.. memangnya siapa sih namanya?”
“Nggak
ada yang tahu nama aslinya. Dia mengaku punya dua nama, Karina dan Citra. Di
kantor sih dia dipanggil si Hantu.” Aku menghela napas.
“Bunda
pernah baca,” Bunda menyesap kembali tehnya. “kepribadian ganda itu disebabkan
oleh trauma pada masa lalu. Jadi, kalau kamu benar-benar cinta, ya kamu harus
lebih mengenalnya. Dengan cara, mengetahui masa lalunya.”
“Susah,
Bun.. kalau dia lagi jadi Citra sih mudah, tapi kalau jadi Karina.. dia kalau
menanggapi Arka aja dingin dan ketus banget.” Aku menggaruk leher.
“Sia tuh naon sih? Ya jelas gak ada yang mau sama lo lah, Ka! Orang lo nggak
peka tingkat dewa!” Kakakku, Teh Kay,
tiba-tiba menimbrung.
“Hah?
Lo nguping?!” spontan aku berdiri.
“Nih,
gue kasih tahu, ya! Cewek itu, kalau dingin, ya diangetin!”
Bersambung..
Berhasilkah Arka menghangatkan hati si Hantu? Tunggu episode 2-nya besok, cerita ini cuma dua eps, soalnya buat lomba hehe.
Yang mau ikutan lombanya bisa lihat lengkapnya di www.tulis.me/lombacerpen8
Aku udah kirim cerita buat lombanya (cerita ini), wish me luck!
Sampai ketemu dengan episode 2 cerpen 'Dia' besok :)
Komentar
Posting Komentar