Dancing In The Rain - Review (2018)

"Ih, kita mau kemana, sih?" Kinara menggerutu, namun senyum penasaran tetap terukir di bibirnya.
"Sebentar dulu, maju terus," Radin memberi aba-aba. "Nah, lepas penutup matanya sekarang, Banyu."
Banyu, si spectrum autis tersenyum, melepas gulungan kain di mata Kinara.
"Suprise!" Radin berteriak, disusul teriakan Banyu mengikutinya.
"Suprise!"
Kinara tersenyum, air wajahnya berubah. Kini, ia berada di tengah taman luas yang dipenuhi rumput dan pohon, yang membuat udara disana terasa amat sejuk.
Tiba-tiba saja, sebuah mobil kecil berhenti tepat di depan mereka, dan Eyang Uti, nenek Banyu yang merawatnya sejak kecil dan Eyang Widya, tetangga sebelah rumah Banyu keluar dari mobil.
"Selamat ulang tahun, Nak Kinara," Eyang Uti tersenyum, mendekati Kinara.
"Makasih, Eyang." Kinara tersenyum, ia benar-benar bahagia. Perlahan, ia mendekati Radin di belakangnya. Tanpa aba-aba, ia memeluk Radin. Bukannya menolak, Radin mencium keningnya.
{Acia, so sweetttt coyy}
"Radin. Makasih ya," kata Kinara, tersenyum cerah. Radin tersenyum, mengangguk.
Tiba-tiba saja, Banyu muncul di antara mereka, dengan menangkupkan kedua tangannya dan menempelkannya. Tawanya tertahan, namun kemudian akhirnya ia berjalan ke belakang mereka dan tertawa keras.
"Tuh, Banyu dipeluk juga dong," kata Radin. Kinara merona, mengangguk kemudian mendekati Banyu dan memeluknya dari belakang.
"Makasih!" serunya senang. Banyu menggumam, agak terkejut.
Eyang Uti dan Eyang Widya yang melihat mereka bertiga tersenyum. Entah apa yang mereka pikirkan, rasa kagum? Itu wajar. Bayangkan, persahabatan antara satu orang spectrum autis --Banyu, satu orang yang menderita Meningitis-radang selaput otak, Kinara, dan satu orang normal--Radin yang sebenarnya keluarganya memiliki riwayat penyakit jantung.
Satu lagi. Rasa iri.. mungkin? Rasa iri terhadap persahabatan mereka yang abadi kurang lebih selama sepuluh tahun, padahal ada banyak konflik dalam persahabatan mereka, tapi mereka tidak goyah sedikit pun. Bahkan jika itu masalah yang serius sekalipun.
Pertama, Radin yang dilarang ibunya berteman dengan Banyu, si spectrum autis dan Kinara si penderita meningitis. Kenapa? Karena menurutnya, Banyu dan Kinara hanyalah merepotkan Radin.
Dan, bukan hanya itu, masih ada lagi konflik di antara persahabatan mereka. Kinara, yang menderita meningitis sejak kecil--dan tentu saja penyakitnya itu sudah parah--harus menjaga kondisinya agar ia tetap bisa bersama kedua sahabatnya. Dan tentu saja itu tidak mudah. Ia pun harus menyembunyikan penyakitnya itu dari Banyu, yang pastinya tidak mengerti dan Radin, sahabatnya yang jauh lebih dekat dengannya daripada Banyu. Namun mungkin itu sia-sia karena Radin tentunya tahu kondisi Kinara sebenarnya dari ibu Kinara, yang perlakuannya dengan Kinara jauh berbeda dengan perlakuan ibu Radin kepada Radin.
Terakhir--bukan, masih banyak lagi,-- ketiga, Banyu yang menderita spectrum autis tentu saja tidak bisa mengerti, semua permasalahan yang ada di tengah pertemanannnya dengan Kinara dan Radin. Kalaupun mengerti, ia bisa apa? Melawan? Meluruskan sendiri permasalahan itu? Tidak semudah itu.
Dan yang membuatku amat sangat kagum dengan kisah persahabatan mereka--persahabatan mereka yang tetap abadi selama 10 tahun lebih, meskipun konflik terus menanti di depan.
Apa kata Elbert Hubbard tentang sahabat?
'A best friend is someone who knows all about you and still loves you. -Elbert Hubbard- '
.

.

.
Tertawa bersama, Banyu, Radin dan Kinara berjalan ke tengah balkon lantai paling atas gedung. Namun tawa itu hanya berlalu sebentar saja, sebelum Kinara keluar dari canda tawa mereka bertiga dan melamun sendirian di pingir balkon. Banyu yang menyadarinya mencolek bahu Radin, dan menunjuk ke arah Kinara. Radin yang pertama kali berteman dengan Banyu tentu saja sudah mengerti, walaupun Banyu tidak mengatakan maksudnya sendiri.
Radin mendekati Kinara dan berdiri bersandar di pegangan balkon--di samping Kinara. Kinara tersenyum, berusaha menyembunyikan kemurungannya. Meskipun ia tahu, ibunya sudah memberi tahu Radin tentang penyakitnya.

"Hari ini orangtua kamu ke dokter, ya?" tanya Radin, menoleh ke arah Kinara. Kinara tersenyum, mengangguk.
"Takut, nggak?"
Kinara berjalan mendekati Banyu, meninggalkan Radin di pinggir balkon. Kinara meraih tangan Banyu, kemudian menariknya mendekati Radin.
"Apaan sih lo," Banyu melepaskan pegangan tangan Kinara pada tangannya, namun Kinara berhasil meraih kembali tangan Banyu. Kinara meraih pula tangan Radin, kemudian tersenyum cerah walaupun Radin bisa melihat ada rasa khawatir yang disembunyikan di balik senyumnya.
"Ngapain aku takut," kata Kinara pelan. "Aku kan punya kalian."
"Kinara punya Radin." Banyu menggumam, namun itu bisa membuat Kinara dan Radin benar-benar merona malu mendnegarnya.
"Ih! Banyu juga!" Kinara menyahut, kesal. Radin berbalik, menghadap ke luar balkon dan disana terlihat pemandangan taman penuh rumput itu yang sangat luas.
"HAPPY BIRTHDAY KINARA!!!" Radin berteriak dari atas balkon. Banyu ikut berteriak, sementara Kinara--yang masih merona hanya tersenyum bahagia. Ia bersyukur, ia bisa bersahabat dengan Radin dan Banyu, meskipun dia..
.

.

.
"Gimana hasilnya, Ma?" tanya Kinara di sofa ruang tengah rumahnya, dimana di sofa lain ayah dan ibunya duduk bersebelahan.
"Kinara, Mama tahu kamu sudah menduga ini, Sayang.." lirih ibu Kinara.
"Apa kata dokter, Ma?" Kinara kembali bertanya, agak memaksa.
"Dokter bilang.."
"Yang paling parah, adalah radang selaput otak yang diderita Kinara. Bapak dan Ibu tahu, sudah cukup lama Kinara menderita meningitis, dan penyakit ini bisa saja menjadi serius kapan pun. Kinara harus mengikuti pengobatan selanjutnya," perkataan sang dokter, yang benar-benar membuat air mata Kinara jatuh saat mendengarnya.
"Ma, Mama harusnya tahu, suatu saat nanti Kinara bakal pergi," lirih Kinara, sebelum ia jatuh ke pelukan ibunya.
"Tapi Mama nggak tahu kalau secepat ini, Sayang," ibu KInara terisak, begitu pun dengan Kinara.
Banyak yang harus ia tinggalkan jika ia pergi. Radin, Banyu, Eyang Uti.. dan keluarganya sendiri. Seandainya ia tidak menderita meningitis, ia akan selalu ada di sisi Radin maupun Banyu. Tapi takdir ada di tangan Tuhan, bukan?
Kinara berjalan menuju kamarnya, dan segera menelepon Radin dengan ponselnya.
Tut. Telepon tersambung.
"Radin, ada yang mau aku bicarakan sama kamu."
.

.

.
Deringan ponsel Radin terus terdengar, dan tentu saja lama kelamaan suara deringan ponsel tidak enak didengar. Ibu Radin, yang mulai kesal dengan suara ponsel Radin memanggilnya.
"Radin!!" serunya. Belum ada respon. Ia mulai penasaran, dan akhirnya mengangkat telepon.
"Radin, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." suara itu menyambutnya begitu telepon diangkat, dan dia bisa langsung menangkap siapa yang meneleponnya; KInara.
"Apa yang mau kamu bicarakan dengan Radin, hah?" kata ibu Radin dengan nada tegas. "Kamu pikir Radin butuh kamu? Kamu, dan BAnyu si spectrum autis itu, kalian hanya merepotkan Radin! Asal kamu tahu, harusnya Radin tahu dengan siapa ia harus berteman!"
Kinara terkejut, ia tidak mampu berkata-kata. Air matanya menetes semakin deras.
"Jangan sampai kamu mengubungi Radin lagi!" tegas, ibu Radin kembali berucap, sesaat sebelum ia mematikan sambungan telepon. Kinara terisak, ia sama sekali tidak menduga ini. Ia tidak ingin, ia kehilangan kedua sahabatnya sebelum ia pergi meninggalkan mereka.

Ibu Radin tersenyum penuh kemenangan, namun sedetik kemudian raut wajahnya kembali berubah. "Tinggal satu lagi," gumamnya.
.

.

.
"Banyu!!" panggil ibu Radin dari depan pagar rumah Banyu. Pembantu di rumah keluar.
"Tolong panggil Banyu," katanya tegas. Tak alam, Banyu keluar dari rumah dengan raut wajah yang kosong--ciri khas orang autis. Ibu Radin meraih kedua tangannya dan menahan kedua tangan Banyu. BAnyu berusaha meronta, tapi ibu Radin mencengkeram kedua tangannya dengan keras.
"Kamu itu harusnya tahu diri!" teriak ibu Radin. "Kamu itu cuma merepotkan Radin! Sadar kamu hah?!"
Banyu menggumam, berusaha melepas kedua tangan ibu Radin yang menahannya. Dan tentu saja, sebagai laki-laki penderita spectrum autis, saat marah kekuatannya meningkat dan dia bahkan mampu menjatuhkan ibu Radin yang jauh lebih tua darinya.
"JANGAN MENDEKAT!!" Radin tiba-tiba muncul di pagar rumah Banyu.
"Nah, kamu lihat, Radin, temanmu ini bisa melukai Mama! Gimana kalau nanti dia melukai kamu juga?!" Seru ibu Radin, sementara Radin hanya menarik tangan ibunya keluar dari beranda rumah Banyu.
.

.

.
Dan, konflik belum selesai disitu. Masih ada lagi.. karena saya malah ceritain gini nanti dikira spoiler, saya kasih tahu aja ya. Jadi.. flashback dulu lah..
Jadi, di hari ulang tahun Kinara, tepat sebelum mereka pergi ke taman yang penuh rumput & pohon & apalah itu.., Banyu ikut olimpiade gitu, dan tahu lah ya gimana kalo orang autis ke tempat umum gitu, sendirinya lagi. Tapi gini-gini Banyu tu pinter tau. Jangan enaknya aja nuduh-nuduh.
Nah, Banyu itu cepet-cepet ngerjain soal olimpiade sampe dia selesai pertama, kelar olimpiade langsung wuss ke tempat Radin turnamen basket. Disitu, udah ada di Kibara teriak-teriakin Radin, di kursi sampingnya yang kosong itu tempatnya Banyu. Begitu kuat Banyu ada di pintu masuk turnamen, Kinara langsung jemput Banyu ke kursi mereka berdua.
Terus.. udahlah nonton aja filmnya.
Ya intinya, setelah ada kesalahpahaman di antara Banyu & Radin, akhirnya Radin ikut grand final turnamen basket. Banyu dilarang masuk ke lapangan turnamen karena dia sempet bikin kekacauan di turnamen sebelumnya. Dan Kinara, tentunya tidak bisa datang karena dia harus ikut pengobatan di rumah sakit.
Dan ternyata, Radin yang punya riwayat penyakit jantung dari ayahnya tiba-tiba aja ambruk gitu, terus Banyu panik, tapi dia dilarang menginjakkan kaki di lapangan turnamen. Akhirnya Radin dibawa ke ruang sakit, dan ternyata dia gagal jantung dan harus terima transplantasi jantung..
Dan siapa yang bisa memberikan jantung ekoaa Radin? Kinara? Kondisi tubuhnya sudah kemah, bahkan rambutnya sudah rontok karena pengobatan-pengobatan. Dan mungkin saja penyakit meningitis berpengaruh dengan jantung, dan tidak mungkin Radin menerima jantung Kinara yang sudah sangat lemah.
Banyu? Mungkin iya.
.

.

.
Banyu menulis surat untuk Radin di selembar kertas, dengan menggummam berkali-kali. Dan yang ia tulis di kertas itu adalah:I Want To Give My Heart For You.
Banyu melipat kertas itu, memasukkannya ke dalam plastik bersama dengan foto-foto mereka di taman tempat mereka memberikan kejutan kepada Kinara. Di atas plastik itu, Banyu menuliskan 'untuk sahabat' dengan tulisannya yang.. rada-rada gimana gitu.
Banyu mendekati Eyang Uti yang masih tertidur di ranjangnya--saat itu masih tengah malam-- dan mencium punggung tangannya. Banyu berjalan, berharap ia bisa sampai di tujuan utamanya; rumah sakit dan bisa benar-benar memberikan jantungnya kepada Radin. Itu harapan terbesarnya saat ini.
Di tengah perjalanannya, Banyu berhenti dan membuka kembali plastik yang ia bawa.
"Untuk sahabat," Banyu membaca kembali tulisan itu, lalu memejamkan matanya. Kenangan-kenangan saat mereka bertiga menari di bawah siraman air hujan membayang di pikirannya. Banyu tersenyum, namun ia tersadar bahwa ia kini tengah berada di tengah jalan. Banyu berlari, berusaha menghindar dari mobil-mobil yang melaju kencang di jalan raya, namun tiba-tiba ia tertabrak sebuah truk besar sehingga ia tergeletak di aspal jalanan, dan masih dengan laju kencang, truk itu melindas tubuh Banyu.
Suara deringan ponsel Eyang Uti membuatnya terbangun. Ia bangkit, meluruskan tubuhnya sejenak, kemudian mendekat ke arah meja yang di atasnya terdapat ponselnya. Eyang Uti meraih ponselnya, kemudian mengangkat telepon.
"Halo?" Sapa Eyang Uti di telepon. Suara seseorang menyahut dari balik telepon, sebelum Eyang Uti jatuh terduduk di tempatnya.
"Ya Gusti.."
.

.

.
"Kami sudah menemukan pendonor jantung untuk anak Ibu," sang dokter menjelaskan. "Semua organnya sudah tidak, hanya saja jantungnya yang masih berdetak dengan baik. Silakan Ibu, jika ingin bertemu langsung dengan keluarga pendonor,"
Ibu Radin melirik ke ruangan lain, dimana Eyang Uti terisak di depan tubuh Radin yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Kepalanya membiru karena benturan, perban-perban terpasang di perut Banyu. Ibu Radin menatap lekat Eyang Uti, tiba-tiba saja ia merasa bersalah. Seringkali dia marah kepada Eyang Uti karena ia membiarkan cucunya berteman dengan Radin. Dan ya, ia amat sangat membenci Banyu. Tapi entah kenapa, perasaan itu hilang sekarang.
"Ampuni saya, Bu.." kata ibu Radin lirih, sambil menunduk di depan Eyang Uti yang tengah duduk di kursi tunggu rumah sakit. "Hanya Ibu yang bisa membantu saya, Bu.. hanya Ibu yang bisa menolong anak saya,"
Eyang Uti terdiam, berusaha menahan air matanya agar tidak kembali jatuh. "Kalau soal itu.. bukan saya. Tapi Banyu."
.

.

.
Dan cerita ini, berakhir di.. makam Banyu.
Sepasang kaki, dengan satu kursi roda bergerak di tengah pemakaman, dan akhirnya kursi roda itu dihentikan di suatu belokan. Radin, dengan kedua tangannya mengangkat tubuh Kinara dari kursi roda, kemudian berjalan menuju makam Banyu dengan mengangkat Kinara, yang sudah kehilangan semua rambutnya. Mereka berhenti dan duduk di samping makam Banyu.
Kinara yang sama sekali tidak mengetahui perihal kejadian di lapangan turnamen basket terisak, air matanya mengalir jauh lebih deras dari Radin. Ia tidak pernah tahu, kalau ia akan kehilangan sahabatnya, selamanya, sebelum ia akan pergi meninggalkan Radin sendirian.
Radin masih sanggup menahan air matanya, meskipun setetes air mata mulai mengalir di pipinya. Harusnya biasanya ia lebih tegar, tapi tentu tidak untuk menangisi orang yang berkorban untuknya.
Dan terlebih lagi saat ia melihat tulisan Banyu, yang berisi 'I Want To Give My Heart For You' dan foto mereka bertiga di taman yang berlumuran darah saat Banyu kecelakaan.
Radin dan Kinara meletakkan barang-barang berharga mereka--foto mereka bertiga, dan satu lagi kertas dari Banyu yang diberikan kepada Radin. Tulisan itu lebih membuat Radin terkejut daripada yang sebelumnya, karena isinya;
'Kata Eyang Uti, Banyu artinya air. Air bisa memberikan kehidupan kepada orang lain. Banyu bisa memberikan kehidupan kepada Radin.'
Sedangkan Kinara, meletakkan buku 'Menari di Tengah Hujan' yang sering Banyu baca di perpustakaan atau di toko buku.
Tak lama, air hujan menetes ke tubuh mereka. Kinara mengangkat telapak tangannya agar bisa merasakan tetesan air-air hujan. Radin segera berlari ke belokan tempat mereka tadi berhenti dan mengambil payung berwarna hitam dan memegangi payung itu di atas kepalanya dan Kinara. Kinara meraih payung itu dan menjatuhkannya ke tanah, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Radin.
Bayang-bayang saat mereka menari di bawah hujan bersama kembali membayang di pikirannya, begitu pun dengan Radin. Ia terisak, amat sangat terisak. Tak ada yang bisa menghalangi air matanya jatuh.



Sekejap aku melamunkan
Resah menyibukkan hati ini
Tak pernah ku meminta dihadirkan
Ke dunia ini
Andai semua yang kucintai
Tak lagi ada di hidupku ini
Bisakah ku menawar pada Tuhan
Aku saja yang pergi

Andai ku jadi bintang, bintang hatimu
Andai aku jadi awan, kau pelangiku
Meramaikan dunia, cinta sahabat, mewarnai hidupku
Sahabat yang sejati, itulah kita
Biarkan ku menari, di derasnya hujan
Tak ku rela kau terluka, biarlah aku, menggantikan sulitmu

Duhai semua yang terkasih
Terima kasih atas semua cinta
Membuat aku jadi merasa
Hidupku ada gunanya


Andai ku jadi bintang, bintang hatimu
Andai aku jadi awan, kau pelangiku
Meramaikan dunia, cinta sahabat, mewarnai hidupku
Sahabat yang sejati, itulah kita
Biarkan ku menari, di derasnya hujan
Tak ku rela kau terluka, biarlah aku, menggantikan sulitmu

Ku menari di tengah hujan
Bahagia, jadi bagian kisah hidup


Andai ku jadi bintang, bintang hatimu
Andai aku jadi awan, kau pelangiku
Meramaikan dunia, cinta sahabat, mewarnai hidupku
Sahabat yang sejati, itulah kita
Biarkan ku menari, di derasnya hujan
Tak ku rela kau terluka, biarlah aku, menggantikan sulitmu

Original Soundtrack Dancing In The Rain - Bintang Dihati by Melly Goeslaw (https://youtu.be/n9NJdp_c_tk)

Trailer film Dancing In The Rain -- https://youtu.be/ZciltoFZCHo

Cast: Bunga Zainal (Kinara) • Deva Mahenra (Radin) • Dimas Anggara (Banyu) • Christine Hakim (Eyang Uti) • Keke Soeryo (Ibu Kinara) • Dolly Martin (Ayah Kinara) • Niniek L. Kariem (Eyang Widya) • Ayu Dyah Pasha (Psikolog) • Qory Sandioriva (Ibu Guru Banyu) • Djenar Maesa Ayu (Ibu Radin) • Joshua Rundengan (Radin kecil) • Gilang Olivier (Banyu kecil) • Greesella Adhalia (Kinara kecil)
• Sutradara: Rudi Aryanto
• Penulis: Tisa Ts
.

.

.
Jangan lupa nonton Dancing In The Rain ya, filmnya ngena banget :') ini baru review nya, kalo filmnya yang beneran itu sedihh bangett
Makanya jangan lupa nonton yaw~
Sekalian promote ya~
Follow: @screenplayfilms_id
Follow: @film_dancingintherain
Follow: @rudiaryanto79
Follow: @tisats
Follow: @bungazainal05
Follow: @devamahenra
Follow: @dimsanggara
Follow: @greesella.sa
Follow: @gilangolivier
Follow: @joshuarundengan
Follow: @mellygoeslaw

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman di Kelas Literasi (2018)

Dia - Eps. 1 (2019)